I. Latar Belakang
Wilayah pesisir pada umumnya merupakan kawasan yang paling cepat mengalami perubahan dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia sebagai akibat tingkat kebutuhan pemanfaatan lahan yang sangat besar, seiring dengan peningkatan pesat aktivitas-aktivitas social ekonomi wilayahnya. Permintaan penggunaan lahan pesisir yang besar tersebut antara lain untuk keperluan pemukiman, infra struktur transportasi seperti pelebaran dan penambahan ruas jalan serta pengembangan pelabuhan, pembangunan kawasan industri, perdagangan dan pertanian yang merupakan kegiatan tradisional. Sementara itu kegiatan pembangunan di kawasan hulu (hinterland) juga merupakan fakta yang langsung ataupun tidak langsung turut membebani pada terjadinya perubahan atau dinamika lingkungan wilayah pesisir
Transformasi penggunaan lahan yang sangat cepat dari daerah pertanian yang bersifat tradisional ke arah yang lebih bersifat kontemporer seperti yang telah disebutkan diatas dikhawatirkan akan merubah pula ekosistem kawasan pesisir sehingga melampaui daya dukungnya.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km.
Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar.Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata.
Pengelolaan kawasan pesisir dirasakan cukup penting dan mendesak.Selain sebagai pelindung daerah pantai, tanaman pohon juga memiliki arti ekonomi yang penting bagi masyarakat. Oleh karena itu,
pengelolaan daerah pantai harus mampu memberikan perlindungan kualitas lingkungan dan sekaligus memenuhi kebutuhan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat.
ReGrIn merupakan suatu proyek inisiatif yang dibentuk oleh ICRAF dan berkolaborasi dengan Balai Penelitian Tanah Indonesia (ISRI), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dan Universitas Hohenheim, Jerman. Proyek tersebut bertujuan untuk mengembangkan pohon-pohonan yang bernilai ekonomi tinggi dan mampu bertahan dari bencana serupa di wilayah pesisir serta dapat menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakatnya.
a. Potensi Wilayah Pesisir
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok :Sumber daya dapat pulih (renewable resources), Sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan Jasa-jasa lingkungan (environmental services).
1. Sumber Daya Dapat Pulih
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Terumbu karang
Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur. Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak. Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan kimia.
Ekosistem terumbu karang dikatakan buruk apabila mempunyai karang hidup sebesar 0 – 24,9 %, sedang apabila tutupan karang hidup 25 – 49,9 %, dikatakan bagus apabila tutupan karang hidup 50 – 74,9 % dan dikatakan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup > 75 %.
Rumput Laut dan Lamun (Seagrass)
. Tumbuhan laut yang terdiri dari kelompok lamun dan rumput laut hampir menyebar di seluruh kelompok pulau dan berasosiasi dengan ekosistem hutan bakau dan terumbu karang.
b. Sumber daya yang Tidak Dapat Pulih
Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, granit, emas, timah, Bouksit, tanah liat, pasir, dan Kaolin.Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi.
c. Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir
Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Dalam pemerintah atau pihak pengelola memiliki day-to-day management, kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan.
Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara (regulation zone), instansi pengelola wilayah pesisir dalam dengan instansi/lembaga regulation zone yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar